Lubuklinggau – Isu praktik “bagi-bagi proyek” di lingkungan Pemerintah Daerah Lubuklinggau kian panas. Sejumlah sumber menuding bahwa proyek-proyek bernilai miliaran rupiah tidak dikelola secara transparan, melainkan hanya dibagi kepada kontraktor tertentu yang diduga masih memiliki hubungan keluarga dengan pejabat dinas maupun kepala daerah.
Informasi di lapangan menyebutkan, perusahaan pemenang tender diduga tidak dipilih berdasarkan profesionalitas, melainkan karena kedekatan personal dan peran politik yang pernah dimainkan pada saat Pilkada lalu. “Perusahaan itu jelas-jelas masih ada hubungan keluarga dengan pejabat, bahkan ada yang disebut ikut membantu di masa kampanye Pilkada. Jadi wajar kalau sekarang dapat jatah proyek,” ungkap salah satu kontraktor lokal dengan nada kesal.
Praktik semacam ini memicu keresahan luas di masyarakat. Warga menilai proyek pembangunan menjadi bancakan politik dan ajang balas jasa, alih-alih untuk kepentingan rakyat. Dampaknya, kualitas pembangunan pun dikhawatirkan menurun karena proyek diberikan bukan pada perusahaan yang kompeten, melainkan pada kelompok “orang dalam”.
“Kalau memang benar ada proyek dibagi ke kerabat atau tim sukses, itu jelas penyalahgunaan wewenang. Uang rakyat dijadikan alat politik. Kami menuntut kepala dinas bertanggung jawab, bahkan kalau perlu mundur dari jabatannya,” tegas salah seorang tokoh masyarakat.
Desakan audit terbuka dari BPK dan aparat penegak hukum semakin keras disuarakan. Masyarakat meminta seluruh daftar pemenang tender proyek diumumkan secara resmi agar publik bisa menilai apakah benar ada praktik nepotisme dalam pembagian proyek.
Hingga kini, pihak dinas terkait belum memberikan klarifikasi resmi mengenai tudingan ini. Namun isu bagi-bagi proyek yang sarat kepentingan keluarga dan Pilkada telah menjadi perbincangan hangat di tengah masyarakat, yang semakin gerah dengan dugaan praktik kotor di balik pembangunan daerah.